Kampus Militer

Beranda » Moderenisasi TNI » Kesalahan Akuisisi » EMB-314 » Elang Jadul Impor

Elang Jadul Impor

Archive page:
http://hankam.kompasiana.com/2012/07/11/kesalahan-akuisisi-alutsista-emb-314-elang-jadul-impor-476850.html

Kesalahan Akuisisi Alutsista: EMB-314, Elang Jadul Impor

11 July 2012 | 05:38

Pengadaan fighter turboprop EMB-314 Super Tucano dari Brazil adalah kesalahan yang disebabkan oleh terlambatnya penyesuaian doktrin TNI AU dengan perkembangan teknologi. Seharusnya diprioritaskan minimalisasi jenis armada dengan prioritas produksi dalam negeri, karena teknologi fighter turboprop sangat mudah dikuasai.


Untuk yang belum baca berita terkait: berita1, berita2, berita3, berita4, berita5, berita6, berita7, berita8

Pesawat Tempur Ringan Turboprop (ultra light fighter)

Squadron Udara 21 berbasis di Malang adalah squadron legendaris dengan pesawat fighter twin-turboprop OV-10 Bronco, yang tergolong pesawat tempur ringan baling-baling alias light turboprop fighter.

Digolongkan fighter ringan karena kecepatannya lebih rendah, dan membawa senjata lebih sedikit dibandingkan dengan mainstream fighter jet standar.

Disebut turboprop atau ditambah kata ultra untuk membedakan dengan fighter ringan bermesin jet, seperti Hawk, TA-50, Su-55, dsb. Juga membedakan dengan mesin baling-baling kuno yang berbasis piston.

Umumnya yang disebut fighter ringan adalah jet tempur dengan kecepatan transonic (Mach 0,8 – 1,2). Sedangkan fighter ultra ringan berpenggerak turboprop sehingga kecepatannya lebih rendah lagi, dibawah Mach 0,8.

Fighter ringan (termasuk yang ultra ringan) memiliki berbagai fungsi:

  • Light armed reconnaissance aircraft (pesawat pemantau ringan bersenjata), yang fungsinya memantau posisi pasukan musuh, dan berfungsi sebagai forward air control (FAC).
  • Dropping para: menerjunkan sejumlah kecil pasukan linud atau komando dengan parasut.
  • Close air support: mendukung infantri dengan tembakan udara jarak dekat.
  • Bantuan tembakan, setara dengan dukungan tembakan artileri, dengan cannon, roket, rudal, atau bom.
  • COIN (Counter Insurgency), alias memerangi rakyat sendiri… :-D.
  • Armored hunter, berburu kendaraan lapis baja seperti tank, APC, dsb.
  • Heli hunter, berburu helikopter, terutama menghadapi heli serbu.

13449526011383615909

Indonesia memiliki 2 fighter ringan dan 6 fighter latih ringan:

  1. OV-10F Bronco
  2. Hawk 209

Pesawat latih ringan biasanya juga dapat dipersenjatai, sehingga dapat dikategorikan sebagai fighter ringan. Jika keadaan mendesak, pesawat latih militer dapat dilibatkan melakukan operasi dukungan tembakan. Dalam kategori ini Indonesia memiliki:

  1. KT-1B Wongbi, pesawat latih buatan Korea Selatan
  2. T-34 Mentor
  3. FFA AS-202 Bravo
  4. Aermacchi SF-260, hibah dari Singapura
  5. G-120 Grob, pesawat latih buatan AS
  6. Hawk 53 dan Hawk 109, pesawat latih ringan paripurna (bermesin jet)

Legenda Squadron 21

Squadron Udara OV-10F Bronco terlibat banyak operasi tempur. Sejak kehadirannya, OV-10F ikut serta dalam hampir setiap perang di dalam negeri. Mulai dari Operasi Seroja, Operasi Tumpas, Operasi Halilintar, Operasi Guruh dan Petir, Operasi Kikis Kilat, Operasi Tuntas, Operasi Halau, Operasi Rencong Terbang, Operasi Oscar. Awalnya sebagai Squadron Udara 3, kemudian menjadi Squadron Udara 1, dan akhirnya diganti menjadi Squadron Udara 21.

5 Oktober 1976 OV-10F Bronco melakukan demo udara dalam rangka hari jadi ABRI di Parkir Timur Senayan. Konon kabarnya segera setelah acara, pesawat berangkat ke Bacau untuk mendukung operasi militer Seroja, menyelamatkan rakyat Timor-Timur dari kekejaman komunis Fretilin.

Di tengah embargo dan krisis ekonomi, TNI AU berupaya keras mempertahankan keberlangsungan operasional OV-10F.

Adapun nasib OV-10F Bronco TNI:

  • 3 rusak akibat terpaksa mendarat darurat.
  • 2 jatuh di Medan dan Probolinggo.
  • 2 jatuh di Timor Timur, menewaskan ke-4 penerbangnya.
  • 3 masuk museum (Dirgantara Mandala, Yogyakarta) menjadi monumen (di Jombang dan Banjarnegara).
  • 5 terakhir beroperasi di Lanud Abdul Rahman Saleh, Malang. Uniknya, pesawat OV-10F Bronco yang selamat semua bernomor ganjil.

Bahkan setelah F-16 hadir, OV-10F Bronco tetap menjadi andalan. Mengapa?

Pertama, harga persenjataan F-16 mahal. F-16 mengandalkan rudal state-of-art, atau peluncur roket, yang relatif jauh lebih mahal dibandingkan 4x 12,7mm Browning Heavy Machine Gun-nya Bronco. F-16 sendiri memang memiliki HMG, dan dapat dipasangi peluru ekstra. Tetapi karena kecepatannya, HMG F-16 jaman dulu sulit digunakan untuk menembak sasaran di darat. F-16 sendiri awalnya hanya di disain untuk pertempuran udara ke udara. Karena itu HMG tersebut lebih di disain untuk close combat dog-fight, atau untuk ground strike sambil melewati dengan kecepatan tinggi. Belum ada targeting pod, FLIR, dsb yang memudahkan pilot mengidentifikasi target darat. Sedangkan operasi tempur di Indonesia kebanyakan berhadapan dengan infantri / insurgency.

Pada masa itu, konsep heli serbu (attack helicopter) moderen masih baru berkembang, dan belum dimiliki oleh TNI AD.

Apa daya, setelah pada 21 Juni 2005 sebuah OV-10 jatuh, menewaskan 2 perwira penerbang kita, bulan Juli 2005 seluruh operasi OV-10F dihentikan, menandai dibekukannya Squadron Udara 21.

Dengan tidak mengurangi penghargaan pada Skuadron AU lain, dapat dikatakan bahwa Skuadron OV-10F Bronco adalah the most battle prooven  air squadron di Indonesia, juga the most battle scarred squadron. Dan tentunya, sebagai Skuadron AU yang paling berjasa besar pada infantri TNI AD.

Mungkin tidak ada skuadron udara lain yang berpengalaman tempur, mengalami resiko tinggi, dan menyabung nyawa demi NKRI seperti Skuadron Udara 21, Malang. Tabik, to the real Indonesian heroes of 21st Air Squadron, 2nd Tactical Wing, Eastern Air Command.

Setelah 7 tahun tidak aktif, dapat dibayangkan rasa kebanggan pada anggota Squadron 21 yang baru, menantikan kedatangan 16 unit EMB-314 Super Tucano, yang menjadi nyawa baru bagi Squadron 21. Kebanggan pula bagi bangsa Indonesia atas aktifnya kembali Squadron 21 untuk menjaga keamanan NKRI.

Menurut berita, 4 pesawat EMB-314 insyaallah akan hadir tanggal 28 Agustus 2012. Ada juga berita yang menyebutkan bahwa EMB-314 sudah hadir dan sudah demo menembakkan rudal Maverick.

EMB-314 Super Tucano

EMB-314 Super Tucano adalah fighter dengan satu mesin turboprop (baling-baling tunggal). Secara penampilan sangat mirip dengan fighter jadul seperti P-51 Mustang, atau bahkan Mitsubishi Zero. Jauh dari kesan futuristik seperti pendahulunya OV-10F Bronco yang ber-baling-baling ganda dan ber-sayap ajaib.

Berbeda dengan penampilannya, performa EMB-314 sangatlah luar biasa. Dapat dikatakan bahwa EMB-314 adalah fighter turboprop state-of-art, menggunakan teknologi terkini dalam semua aspek.

EMB-314 memiliki 2 senjata mesin internal dalam sayapnya 12,7mm FN Herstal M3P dan dapat membawa rudal canggih pada 5 hardpoint di sayap dan dibawah pesawat seberat 1,5 ton. Dapat bertempur malam hari, memiliki sistem pertahanan anti rudal (countermeasures), fitur auto pilot, sistem navigasi terkini, dan berbagai fitur pesawat tempur moderen.

Pada dasarnya EMB-314 Super Tucano adalah state-of-art single engine turboprop light fighter.

Namun apakah Indonesia perlu state-of-art single engine turboprop light fighter ?

Prioritas pengadaan TNI harus menuju pada kemandirian. Dalam hal ini TNI AU perlu berperan memperkecil jenis pesawat tempur yang dimiliki guna meningkatkan optimalisasi pemeliharaan.

Kepemilikan multi pesawat, masing-masing dalam jumlah kecil, menunjukkan tidak adanya garisan doktrin TNI AU yang mempertegas pentingnya pembatasan jenis pesawat tempur.

Dari beberapa akuisisi pesawat TNI AU terlihat bahwa ada pola “mencari pengganti pesawat lama”. TNI AU sibuk mencari pengganti OV-10F, lalu mencari pengganti T-34 Mentor, kemudian KT-1B, Hawk, dst, dsb. Tidak ada evaluasi komprehensif atas kepemilikan aset tempur udara, dan bagaimana seharusnya postur TNI AU terkait dengan perkembangan teknologi pesawat tempur.

13419416681867016973

Ke-jadul-an Konsep Ultra Light Fighter

Dengan kemajuan teknologi pesawat tempur, praktis kebutuhan ultra light fighter menjadi minim. Seluruh fungsi ultra light fighter dapat ditangani lebih baik oleh:

  • Fighterjet (baik ringan, kecil maupun besar)
  • Attack Helicopter
  • Pesawat Gunship (ground-attack aircraft)

Tidak ada lagi urgensinya menugaskan para pilot untuk menyabung nyawa dengan pesawat baling-baling ultra light fighter, yang sehebat apapun, tetap memiliki resiko jauh lebih tinggi untuk tertembak jatuh.

Pada masa lalu, resiko itu harus diambil. Belum ada pengenalan target jarak jauh berbasis video yang memungkinkan pilot pesawat melihat target-nya dari jarak beberapa kilo. Kalaupun ada, resolusi-nya masih sangat buruk dan di disain untuk mengenali kendaraan lapis baja. Dibutuhkan ultra light fighter yang bergerak cukup lambat agar meminimalisasi kesalahan tembakan. Karena biasanya infantri TNI dan infantri lawan bisa berada pada jarak yang cukup dekat, sehingga besar resiko friendly fire atau collateral damage.

Di tahun 2012 ini, cukup banyak teknologi yang memudahkan pilot pesawat fighter mengenali target infantri dengan baik untuk memberikan dukungan tembakan secara aman, dalam kecepatan tinggi sekalipun. Teknologi berbasis infra merah dapat digunakan untuk penembakan di malam hari atau di cuaca buruk sekalipun. Bukan hanya roket dan rudal, bahkan cannon dan senjata mesin pun sudah dapat ditembakkan dengan presisi yang baik.

Fungsi dukungan tembakan udara dekat yang intensif, jauh lebih sesuai dilakukan oleh heli serbu, yang bisa menembak tanpa harus bergerak. Hebatnya, teknologi heli serbu sudah dikuasai oleh PT Dirgantara Indonesia.

Untuk dukungan tembakan udara menengah yang intensif, paling sesuai adalah pesawat gunship alias ground attack aircraft. Pesawat gunship itu dari pesawat angkut militer, yang dipasangi berbagai senjata serang permukaan untuk dukungan tembakan pada pasukan darat. Baik roket, rudal, meriam, mortir, senjata mesin, bahkan anti material rifle (sniper rifle kaliber besar armored piercing), bisa dipasang pada platform gunship. Penembakan dilakukan oleh komputer penembak sehingga akurasi tinggi sekalipun pesawat berada pada jarak beberapa kilometer dan bergerak ratusan kilometer per jam.

Nah, platform gunship ultra ringan bisa dibangun pada N-219 yang harganya hanya USD 8jt. Untuk gunship standar bisa dibangun pada N-295, seharga sekitar USD 40jt. Hebatnya, platform gunship (pada N-219 atau N-295) bisa dibangun oleh PT Dirgantara Indonesai bekerjasama dengan PT Pindad tanpa perlu kerjasama luar negeri.

Lalu mengapa kita tidak membangun armada udara TNI dengan produk dalam negeri ? Walahualam…

1341941826536224834

Alternatif Alih Teknologi Platform Small Fighter

Ada cara yang lebih canggih. Sederhanakan platform fighter TNI AU, lakukan alih teknologi F-5. Ya, F-5, pesawat fighter jet jadul itu, sekarang di obral USD 2jt. Kalau dibandingkan dengan EMB-314 USD 15jt, padahal baling-baling. Dengan penyederhanaan platform fighter, TNI AU bisa menggunakan F-5 untuk pengganti: ultra light fighter (OV-10F), ultra light fighter trainer, light fighter trainer (Hawk 53/109), light fighter (Hawk 209), small fighter F-16 & F-5F, termasuk untuk light AEW. Tujuannya agar Northrop Grumman mau memberikan alih teknologi dan riset bersama untuk 100 keluarga fighter baru F-5 Java Tiger. Sebut saja proyek ini F-5 JT, dimana hasilnya akan termasuk: F-5JT Trainer, F-5JT Advanced Fighter, F-5JT Light Fighter, F-5JT Cruiser.

Untuk pembangunan ini, perlu dibentuk konsorsium nasional IPTN (Industri Pesawat Tempur Nusantara), dengan anggota: Dephan, TNI (AD, AL dan utamanya AU), PT DI, PT Pindad, PT LEN, ITB, ITS, UI, perbankan, industri lain yang dapat menyumbangkan teknologi tinggi. Untuk itu harus dibuat revisi UU yang memungkinkan:

  • Keterlibatan TNI dan Dephan dalam industri pertahanan, termasuk kepemilikan saham dan penempatan staf militer aktif.
  • Perusahaan publik nasional dengan kepemilikan negara (negara menguasai maksimal 20% saham, saham lain dimiliki oleh publik dengan maksimal kepemilikan 0,5% per pemegang saham, dengan pemegang saham harus WNI pribadi, tidak boleh WNA atau perusahaan).

Contoh Spec IPTN F-5JT (yang ceritanya nantinya diriset bersama Northrop Grumman):

  • Conformal Fuel Tank (jarak tempuh lebih jauh).
  • Efficient jet engine (subsonic untuk F-5JT Light Fighter dan supersonic untuk F-5JT Advaced Fighter).
  • Longer fuselage livetime.
  • Hardpoint kompatibel untuk rudal buatan Rusia dan India.
  • Internal targeting pod (extra hardpoint untuk senjata).
  • Increased max take-off weight untuk mengangkut lebih banyak senjata dan peralatan tempur.
  • Twin seater untuk F-5JT Trainer, F-5JT Advanced Fighter, dan single seater untuk F-5JT Light Fighter. Toilet untuk F-5JT Cruiser.
  • Low maintenance and operational cost, murah.

Tentu disini pilihan F-5 hanya sekedar contoh. Dalam prakteknya harus dilakukan evaluasi mendalam atas beberapa produk yang memenuhi persyaratan. Intinya adalah adanya satu platform small fighter murah yang bisa di alih-teknologikan menjadi produk dalam negeri dengan penguasaan teknologi maksimal, sebagai modal untuk alih teknologi fighter utama.

Untuk kebijakan seperti ini memang perlu kepemimpinan nasional yang kuat, bebas korupsi, dan bebas kepentingan. Tidak mungkin dilakukan dalam masa kepemimpinan autopilot dan adanya dominasi partai korup. Jadi memang ide ini untuk masa depan.

13419815671232132092

Light Fighter Produksi SMK

Kalaupun misalnya Panglima TNI AU dan Banggar ngotot, tidak senang dengan doktrin tanpa fighter baling-baling (entah karena terinspirasi Doraemon…, atau cita-cita Operasi Seroja V), harusnya EMB-314 tidak perlu dibeli.

Teknologi fighter turboprop adalah teknologi rendah. SMK di Probolinggo atau di Trenggalek pun mampu membuat fighter turboprop mesin tunggal. Bisa dinamai SMK-314 advanced turboprop fighter. Untuk membuat fighter turboprop mesin tunggal, tidak dibutuhkan dosen ITB atau pakar PT Dirgantara Indonesia.

Cukup memilih dan membeli mesin turboprop dari Pratt&Whitney delivery via laut 1 bulan sampai, meniru airframe odong-odong pesawat fighter zaman PDII, diubah sedikit, di tes di lorong udara. Order material dari Krakatau Steel, fuselage buat di bengkel di Bekasi. Interior kayu ukiran dari Jepara. Jadi, tinggal disambung (soal sambung menyambung, SMK jagonya), pesan HMG 12,7mm, kevlar proteksi kabin, countermeasure chaf dan flare dari PT Pindad, beli perangkat navigasi dari AS, radar, FLIR, targeting pod, dan sistem senjata dari Israel via perusahaan Singapura (soalnya rumit ekspor teknologi sensitif dari AS). Dirakit. Tidak ada teknologi yang sulit diperoleh, hampir semua bisa dipesan dari internet (asal bisa lewat bea cukai).

1341942910544873045

Ini bukan guyonan. Bisa dicoba berikan SMK uang USD 15juta (seharga 1 unit EMB-314), dijamin pasti jadi.

Nah, kalau SMK saja pasti bisa membuat, apalagi dosen ITB, dijamin jauh lebih canggih. Lalu PT Dirgantara Indonesia ? Kalau sampai PT DI tidak bisa membuat state-of-the-art turboprop fighter aircraft dengan USD 15juta, pecat saja Direkturnya, ganti saya, dijamin bisa produksi dengan biaya 1/2-nya (USD 7,5juta), sudah termasuk setoran 30% ke departemen dan banggar 😀 (soal setoran guyon loh Pak Samad… tilpon saya jangan disadap…).

Lalu kenapa teknologi abal-abal yang mudah dibangun sendiri musti dibeli ribuan kilometer dari Brazil ?

Mungkin hanya banggar yang tahu….

13419429771971552637

Doktrin TNI

Sebenarnya pada Doktrin TNI 2010, ekadarmadekapaksa… atau apalah namanya (dalam bahasa India kuno kegemaran TNI, seperti bahasa Latin di militer AS. Saya lupa nama persisnya). Sudah tertulis secara jelas:

Bab 5, Strategi Militer30. Pembinaan Kemampuan

Bagian e:

3) Kemampuan Penguasaan Teknologi dan Industri Militer. Kemampuan penguasaan teknologi dan industri militer disiapkan untuk membangun wawasan kemandirian, sehingga TNI tidak tergantung kepada negara tertentu dan dapat memenuhi kebutuhan Alutsista maupun perlengkapan militer lainnya secara mandiri.

4) Kemampuan Penelitian dan Pengembangan. Kemampuan penelitian dan pengembangan disiapkan untuk peningkatan dan pengembangan perangkat keras serta perangkat lunak dalam rangka mengikuti perkembangan teknologi dan penataan sistem yang dinamis.

Jadi untuk doktrin tertulis sebenarnya tidak ada masalah. Fokus utama penguasaan teknologi dan industri militer sudah menjadi kewajiban utama.

Mungkin ada kurang koordinasi antara Dephan, TNI, banggar DPR, dan industri pertahanan nasional, sehingga banyak pengadaan yang seharusnya dapat menjadi sumber kemandirian alutsista TNI menjadi sekedar impor barang. Atau mungkin juga ada “kurang koordinasi”. Tetapi bisa jadi hanya sekedar “”kurang koordinasi“” 😀

Terima kasih.


Tinggalkan komentar