Kampus Militer

Elang Tua Naas

Archive page:
http://hankam.kompasiana.com/2012/07/18/kesalahan-akuisisi-alutsista-f-16-elang-kecil-tua-dan-naas-478463.html

Kesalahan Akuisisi Alutsista: F-16, Elang Kecil Tua dan Naas

18 July 2012 | 08:48

Kesalahan akuisisi alutsista F-16 sudah dilakukan berulang kali, dan masih akan dilakukan kembali. F-16 sekalipun sukses di dunia, namun di Indonesia nasibnya sangat buruk, serta tidak memiliki kemampuan tempur sebanding dengan lawan-lawannya. Kecuali Indonesia menjadi sekutu AS, dan memiliki F-15 dalam jumlah cukup maka F-16 tidak sesuai sebagai alutsista TNI AU.

F-16 adalah salah satu fighter yang paling sukses sepanjang sejarah tempur udara. Lebih 4.500 unit F-16 di produksi dalam berbagai varian yang dioperasikan oleh 25 negara. F-16 terbang pertama 2 Februari 1974, diperkenalkan pertama kali 17 Agustus 1978,  dan diketahui bertempur pertama kali pada 28 April 1981. Sejak itu tercatat sekitar 100 pesawat dijatuhkan oleh F-16, tanpa satupun F-16 jatuh dalam tarung udara (dogfight).

Ketangguhan F-16 ini tidak lepas dari penggunaannya sebagai tulang punggung Angkatan Udara Israel (IAF).

Jika AS yang menjadi acuan Angkatan Udara dunia menggunakan arsenal udara melebar dengan berbagai tipe berdasarkan fungsinya, seperti dedicated bomber, dedicated air superiority fighter, dedicated ground attack fighter, dedicated interceptor, dedicated surveilance fighter, dedicated nuclear deterrent bomber,  maka Israel sebagai negara kecil mempelopori efisiensi jenis fighter:

  • Primary fighter: jet tempur besar F-15
  • Secondary fighter: jet tempur kecil F-16

13425200521489589064
Masing-masing fungsi memiliki disain yang berbeda, namun dengan batasan jenis pesawat, maka Israel dapat secara efektif mengejar dan memperoleh kemandirian alutsista tempur udara.

Semangat kemandirian alutsista tempur inilah yang membuat F-16 menjadi begitu efektif di tangan Israel. IAF tidak taklid buta pada General Dynamic, produsen F-16, dan USAF, yang sepakat bahwa F-16 adalah platform fighter murni, alias air-to-air-fighter.

Israel berfikiran bahwa karena negaranya kecil, terlalu mahal untuk memiliki dedicated air-to-air fighter. Israel melakukan riset sederhana mengubah F-16 tersebut menjadi platform multirole yang bisa di set sebagai ground attack fighter.

7 Juni 1981, dikawal oleh fighter superioritas udara F-15, F-16 ground attack milik Israel menyerang Reaktor Nuklir Osirak milik Irak, yang jauh dan tidak memiliki perbatasan dengan Israel. AS pun terkagum-kagum. Pamor F-16 meningkat tajam. Pesawat yang sebelumnya dinilai tidak efisien oleh negara-negara kecil dan misikin, karena dinilai sebagai dedicated air-to-air pure fighter, ternyata bisa berfungsi sebagai multi role fighter dengan efektif, bahkan sebagai dedicated ground attack fighter.

Sebagian besar kesuksesan operasi tempur F-16, baik udara ke darat maupun udara ke udara berasal dari operasi tempur angkatan udara Israel.

Oleh pabrik pembuatnya F-16 dijuluki The Fighting Falcon, namun para pilotnya lebih cenderung menyebutnya: The Viper. Viper adalah ular Beludak, juga nama dari fighter luar angkasa rekaan pada filem sci-fi populer di AS.

13449526011383615909

Mungkin anda bayangkan disini akan ditulis bahwa F-16 fly by wire… dsb dst… Anda akan kecewa. Disini sama sekali tidak ada cerita kecanggihan F-16, rincian spesifikasi, kehebatan radar, dsb. Kunci sukses F-16 semata-mata pada penggunanya, yang mampu melakukan adaptasi pada suatu teknologi, dan memanfaatkannya secara efisien dan efektif.

Kalau saja Prancis tidak memberlakukan embargo pada Israel sehingga harus membeli pesawat AS, mungkin saja saat ini fighter terbaik dunia bukan F-16, melainkan Mirage.  Bisa dibayangkan pada tahun 1980, siapa yang mau membeli fighter dari bangsa yang baru saja dikalahkan oleh Vietnam lima tahun sebelumnya pada 1975 ? Keberhasilan penggunaan F-16 adalah salah satu jasa besar Israel pada AS.

Pada dasarnya kunci sukses F-16 ada 3:

  1. Kepemimpinan yang kuat
  2. Doktrin dan manajemen pertahanan udara jelas
  3. Fokus pada kemandirian alutsista untuk keunggulan tempur

Kepemimpinan Israel pada zaman rintisan, diduduki banyak mantan teroris. Termasuk yang pernah bertanggung-jawab atas pembunuhan tentara Inggris, pada zaman pra kemerdekaan Israel. Mereka mungkin hampir tidak ada yang pernah belajar Fisika Dasar, apalagi Aerodinamika. Anda boleh mengatakan mereka orang yang jahat, gaptek, tetapi mereka memiliki tekad yang kuat, dan kekuatan untuk menyatukan seluruh potensi bangsa.

Israel memiliki, dan mengembangkan doktrin pertahanan yang jelas. Sebagai contoh, sedemikian jelasnya sedemikian sehingga seluruh analis militer dunia dapat memiliki keyakinan sama bahwa jika AS tidak menyerang, maka Israel akan menyerang Iran. Doktrin tempur itu diserta dengan pengejawantahan dalam bentuk manajemen tempur, manajemen akuisisi alutsista, dan manajemen riset hankam yang baik. “Baik” disini definisinya adalah kemampuan melibatkan seluruh potensi bangsa.

Manajemen akuisisi alutsista dan manajemen riset hankam Israel sangat fokus pada kemandirian alutsista untuk keunggulan tempur. Kemandirian tidak berarti harus sendiri, bisa dengan memiliki sekutu yang kuat, dalam hal ini AS.

Disini menurut hemat saya tidak ada unsur kecerdasaran peneliti Israel, atau unsur lebih banyak orang cerdas. Indonesia memiliki jauh lebih banyak orang yang cerdas, dan banyak yang tingkat kecerdasannya seperti peneliti Israel. Namun karena kepemimpinan lemah, doktrin lemah, manajemen lemah, dan tidak fokus, maka potensi SDM Indonesia yang banyak itu tidak tergali.

Boleh-boleh saja kalau kita benci pada Israel, tapi kalau kita tidak belajar dari mereka, akan ada bahaya besar. Karena berbagai bangsa di sekitar nusantara belajar langsung dari Israel. Jangan sampai karena kebencian membabi buta kita tidak bisa secara efektif mengembangkan kemandirian alutsista kita, dan nantinya menjadi korban.

Jadi kunci sukses bukan alutsistanya, melainkan “the man behind the gun”. Bukan hanya pilot, tetapi juga orang-orang dalam organisasi angkatan bersenjata, hingga tingkat kepemimpinan nasional.

Kisah dimulai dari AURI tahun 1960-an, angkata udara terkuat di belahan bumi selatan. Pasca G30S/PKI pengaruh Partai Komunis China, mengakibatkan pembersihan atas komunis di Indonesia. Hal ini merenggangkan hubungan Indonesia dengan Rusia, pemasok utama alutsista AURI.

Karena pengadaan alutsista AURI tidak disertai kemandirian, maka dalam waktu singkat kemampuan tempur udara AURI hilang. AS, kiblat baru Republik mengirimkan sejumlah pesawat, namun tanpa senjata yang memadai. Karena memang tidak ada uang untuk membeli. Disamping pelemahan sistematis rezim Suharto atas AURI, yang dinilai sebagai another warlord dalam konsep trimatra klasik.

Alkisah, konon kabarnya, 6 Desember 1975, jam 8.00 pagi, rombongan besar Presiden Gerald Ford, ditemani Menlu Kissinger, dan beberapa anggota kunci kongres AS mengadakan pertemuan dengan tim Presiden Suharto dan petinggi ABRI di Istana Merdeka. Presiden Ford masih belum hilang pusingnya, padahal rajin minum aspirin. Karena baru 4 bulan lalu, April 1975 ia harus mengakui kekalahan mutlak di Indochina. Sejumlah besar pasukan AS masih nongkrong di Jepang pasca ditarik mundur dari Vietnam. Tapi dia bahagia bertemu dengan sekutu barunya, yang 10 tahun ini berhasil mengamankan Australia dan seluruh pasifik-jauh dari ancaman domino komunis.

Pertemuan ini tidak menentukan apa-apa, hanya simbolis menyatakan dukungan AS atas serangan ke Timor Timur. Kurang lebih sama dengan kunjungan Presiden Putin ke Israel bulan lalu. Sejak beberapa bulan sebelumnya pasukan TNI telah diposisikan untuk melakukan invasi ke Timor-Timur, guna menyelamatkan rakyat dari kekejaman sayap militer Komunis Fretilin: Falinitil, yang melakukan pembantaian dengan persenjataan dari Komunis Portugal. Konflik senjata sudah sering terjadi.

13425203511940944891

Ada 2 permasalahan yang dihadapi Indonesia: pertama kehadiran 2 frigat Portugal dekat Atauro. Kalau frigat itu ikut campur, maka invasi ke Dili akan menjadi sangat berdarah. Kedua, tidak adanya pesawat tempur ground attack yang tersedia. Mengenai Portugal, Presiden Ford menjamin bahwa frigat tersebut hanya mengangkut pengungsi, karena Portugal sudah diingatkan bahwa jika frigat Portugal terlibat pertempuran, Armada Ketujuh AS akan ikut campur langsung dipihak ABRI (spekulasi ini terkait ancaman AS sebelumnya, akan mencabut keanggotaan NATO Portugal, yang berarti AS dapat memerangi Portugal. Disamping AS sudah menyusun rencana serangan invasi ke wilayah Portugal, yang pernah diungkapkan oleh Kissinger).

Untuk kekurangan pesawat tempur, AS menawarkan untuk menukar MiG-21 AURI, fighter air superiority canggih Rusia yang di-grounded pasca G-30S/PKI, dengan OV-10F Bronco dan F-5. Namun pengiriman OV-10F Bronco paling cepat 6 bulan kemudian, dengan kondisi invasi Timtim harus berjalan lancar. Keduanya manggut-manggut, dan akhir kata sambil pamitan Presiden Ford mengucapkan kalimat bersejarah: “Timor is your problem”.

Sambil jalan pulang, Kissinger pamit sambil berpesan pada Jendral LB Moerdani, minta agar invasi jangan dimulai sebelum Airforce One meninggalkan wilayah Indonesia. Tentunya Jendral LB Moerdani langsung tabik, siap. Rombongan Presiden Ford pun pergi dalam damai, terbang ke Tokyo.

Suharto masih bingung-bingung, mau invasi tanpa pesawat tempur ground attack. Mungkin terfikir juga untuk beli pesawat EMBER ke Brazil, sayangnya belum ada. Tapi Jendral Panggabean dengan optimis bilang: “Siap”. Ternyata AURI memang sudah siap. Invasi dimulai subuh keesokan harinya, 7 Desember 1975.

Terinspirasi oleh teknisi USAF yang sudah melakukan konversi C-47 menjadi gunship di Vietnam, dengan memasang MXU-470/A Minigun, dan senjata sayap SUU-11/A, dengan tembakan remote dari dalam pesawat. Mengingat hal ini tim teknis TNI AU dari Depopesbang 10 Bandung, berinisiatif membangun gunship-nya sendiri, C-47 Dakota dipasangi 3 senjata mesin kaliber 0,5. Uji tembakan dilakukan di wilayah perang di perbatasan Timor, September 1975.

Tidak ada satupun yang mengeluh bahwa cal 0,5 HMG tidak memadai untuk gunship. Tidak ada yang minta pesawat di buat model miniatur lebih dulu untuk test di wind tunnel, khawatir senjata tambahan menimbulkan drag dan mengganggu airframe atau fuselage. Tidak ada uang US $ 250 juta untuk membeli pesawat ground attack asal dari Brazil. Benar-benar semangat juang yang sama dengan pendahulu kita yang berjuang dengan bambu runcing. Dengan apa yang kita miliki.

Depopesbang 10 Bandung adalah contoh buat kita, perintis kemandirian alutsista TNI. Sayang, para pemimpin tidak cerdas, tidak menghargai kreatifitas, bukannya mengembangkan alutsista mandiri, justru terkagum-kagum dengan state-of-the-art bikinan luar negeri. Seandainya dulu semangat para teknisi AURI itu dikembangkan, mungkin hari ini kita sudah memiliki gunship Benteng Terbang buatan Indonesia. Tidak perlu lagi membuang uang ke negeri seberang, membeli elang jadul baling-baling bambu impor.

Tulisan ini saya dedikasian untuk patriot bangsa: pelopor kemandirian alutsista TNI AU Depopesbang 10 Bandung, dan tentunya perintis operasional alutsista tempuir udara, tanpa kenal gentar: Skadron II Angkut Ringan TNI AU (termasuk untuk 4 penerbang pesawat Hercules yang tertembak dan selamat pada hari H). Hormat dari Kopasus, Kopasgat, Marinir, dsb, pasukan darat yang ikut pada Operasi Seroja, dan hormat dari rakyat. Tabik.

Sebagai analisa tempur untuk evaluasi, berdasarkan kisah yang ada, saya menduga terjadi kesalahan perencanaan operasi lintas udara Hari H. Seharusnya korban di pihak linud tidak perlu terlalu banyak. Menurut hemat saya, pertama, seharusnya pendaratan tidak dilakukan di dalam kota, melainkan justru diluar kota, membentuk check point mencegah kaburnya pasukan Falintil bersenjata, baru bergerak ke dalam kota untuk randezvous dengan Marinir. Apalagi Dili adalah kota yang sangat kecil, sehingga penerjunan di titik manapun dapat memicu tembakan. Kedua, seharusnya serangan cukup di drive oleh pasukan amfibi lapis baja yang didukung oleh canon kapal perang, heli bersenjata dan gunship, dan dilakukan pada siang hari. Serangan subuh, justru menguntungkan Falintil karena bantuan tembakan TNI saat itu yang tidak memiliki fasilitas targeting malam hari, tidak dapat difungsikan optimal. Tapi itu lain cerita, hanya sekedar evaluasi kisah lama, siapa tahu dimasa depan….. hehehe…. saya ga bilang begitu loh….

Singkat kata, datanglah OV-10F Bronco hasil tukar guling MiG-21. Layar redup, tahun berganti.

Tahun 1986 F-16 dengan kegemilangan pengalaman tempurnya bersama Israel, yang disusul filem marketing Top Gun, memenangkan kompetisi pembelian pesawat ground attack tambahan. Indonesia memesan 12 F-16 A/B block 15 OCU yang mulai datang pada 12 Desember 1989.

Anehnya, entah kenapa, 2 F-16 itu jatuh tahun 1992 dan 1997, menewaskan putra terbaik, pahlawan bangsa, Kapten Pnb Dwi Sasongko. Artinya, dari 12 F-16 BARU milik Indonesia, 2 jatuh = 1 dari setiap 6 F-16 BARU milik Indonesia jatuh sebelum 10 tahun beroperasi. Naas betul untuk pesawat state-of-the-art fly-by-wire dengan prestasi tempur terbaik di dunia. Karena saya tidak mungkin menyalahkan pemeliharaan TNI AU, apalagi penerbang, yang keduanya menjadi tanggung-jawab Panglima TNI. Maka saya berspekulasi mungkin hoki F-16 memang tidak cocok buat Indonesia. Entah karena kurang sajen atau kurang selametan.

Tahun 1996, untuk penggantian pesawat baling-baling ganda OV-10F Bronco dipesan 60 F-16 A/B block 15 OCU, sebagian konfigurasi dedicated ground attack. Namun apa daya tahun 1997, akibat mismanagemen, korupsi sistemik, dan gangguan ekonomi regional, terjadi krismon, pesanan dibatalkan. Tekanan AS menguat soal HAM, sehingga Indonesia yang tersinggung mundur dari program bantuan EIMET.

Kata orang, sejarah selalu berulang. Persis seperti teman-temannya ayah saya menurunkan Sukarno pada 1966, teman-teman saya bergerak menurunkan Suharto pada 1998. Mungkin adik-adik saya, martir reformasi dari Trisakti masih gentayangan sampai hari ini, karena penyidikan kasusnya dipendam oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, tak terdengar perkembangannya sepanjang pemerintahan beliau. Melanggar janji kampanye-nya untuk memperjuangkan amanat reformasi.

Untungnya, beliau orang yang baik, menyatakan tidak bersedia dipilih kembali pada pemilu 2014, juga istri dan anaknya. Sungguh suatu contoh dan suri tauladan yang patut di tiru, diantara banyak pemimpin gagal yang berusaha mempertahankan kedudukannya demi uang dan status sosial. Syukurlah, semoga anak-anak kita tidak perlu menurunkan Presiden lain pada masa mereka kuliah.

5 Mei 1999, bersama pemerintah Portugal, BJ Habibie, yang tidak pernah dipilih rakyat, tanpa persetujuan DPRD Provinsi Timor-Timur, tanpa persetujuan Pemda atau muspida Timor Timur, dan tanpa persetujuan DPR/MPR secara sembrono mengambil langkah sepihak melanggar hukum, melampaui kewenangannya sebagai Presiden Republik Indonesia, mengizinkan beroperasinya militer negara asing di Indonesia, dan memberi kewenangan kepada PBB menyelenggarakan pemilihan suara untuk disintegrasi Timor-Timur dari Republik.

ABRI pun tengah dipimpin oleh Panglima paling gagal sepanjang sejarah TNI: Jenderal Wiranto. Satu-satunya Panglima TNI yang dalam masa jabatannya kehilangan wilayah teritorial Indonesia tanpa sedikitpun perjuangan. Bandingkan dengan Jendral Sudirman yang walaupun kehilangan wilayah teritorial, sakit-sakitan, punya nyali untuk berjuang merebut kembali setiap jengkal tanah Republik, hingga menjadi Jendral paling sukses dalam sejarah TNI. Agak aneh buat saya jika jendral gagal masih berani mencalonkan diri sebagai Presiden RI.

Tak terhindarkan terjadilah pertumpahan darah, yang berujung pada embargo militer dari AS kepada TNI. Nasib F-16 Indonesia pun menjadi tidak jelas. Tanpa suku cadang dan pasokan persenjataan, tidak ada update teknologi, membuatnya tertinggal jauh dari Elang-elang sejenis di negara tetangga.

Ke-10 F-16 naas itu akhirnya mengalami penuaan dini, tidak dapat melakukan perang udara moderen hingga hari ini.

Hingga zaman pemerintah SBY yang sukses meningkatkan anggaran militer TNI, dan naiknya Presiden Obama, anak staf sipil TNI AD, sebagai Presiden AS, ditambah perkembangan pergeseran geopolitik dunia, sehingga embargo militer TNI pun diakhiri.

Entah karena begitu senang embargo diakhiri, atau karena terlalu banyak nonton filem Top Gun, Indonesia kembali ingin memperbanyak F-16-nya. Awalnya hanya bisa beli 6 F-16 block 52 terbaru. Namun ditawari AS 24 F-16 blok 25 ex USAF, yang akan di upgrade ke block 32+. Dijanjikan pula ke-10 unit F-16 A/B blok 15 OCU akan di upgrade menjadi blok 32+.

Disini keluar sebutan F-16 disetarakan dengan blok 52. Sebutan ini menyesatkan, karena blok 52 adalah produksi yang sepenuhnya berbeda. Yang benar adalah di update ke standar blok 32, dengan menambahkan radar yang sedikit lebih canggih, seperti versi standar dari blok 52. Mana lebih baik antara upgrade F-16 ke blok 32+ Indonesia, atau upgrade F-16 MLU Thailand, penulis kurang pasti, karena tidak terlalu jelas apakah yang dimaksud dengan upgrade “setara blok 52″ itu dilakukan se-komprehensif MLU, yang sampai membongkar seluruh pesawat. Jadi apakah benar-benar “setara”, atau “disetarakan”, atau “disamakan”, atau jangan-jangan cuma “diakui”, mungkin BAN yang perlu menentukan…:-D

Yang jelas, F-16 Thailand jauh lebih banyak, Thailand sudah mengoperasikan AEW untuk kemampuan tempur BVR, dan Thailand sudah mengoperasikan rudal AMRAAM C5 yang canggih. Sementara F-16 Indonesia yang nasibnya jelek (jatuh 2 sebelum embargo), masih berupa alutsista odong-odong (tidak bisa melakukan perang moderen).

Seandainya upgrade blok 32+ itu dilakukan beberapa tahun silam mungkin ada maknanya. Sayangnya, waktu berlalu, teknologi perang udara berkembang, dan F-16 blok 32+ sudah bukan fighter yang memiliki kemampuan tempur moderen. Tak jelas postur 34 F-16 blok 32+ itu hendak dipakai untuk fungsi militer apa ? Demo terbang 5 Oktober mungkin ?

Untuk patroli ? F-16 itu akan menjadi patroli pencitraan termahal di dunia. Yang disebut dengan patroli udara adalah menerbangkan aset udara dengan kemampuan tempur setara atau lebih tinggi daripada aset tempur udara yang mungkin dihadapi. Lalu 10 F-16 block 15 OCU dan 24 blok 25, atau nantinya block 32+ itu mampu menghadapi siapa ? Kecuali mungkin patroli pencitraan = imaging patrol….

Mungkin untuk pencitraan bahwa F-16 block 32+ bisa meng-intercept F-18F/A dari Carrier Strike Group AS ? atau meng-intercept F-16  blok 52+  milik Singapura ? atau lebih konyol lagi mengintercept F-35 Australia yang sulit terlihat radar F-16 kita ? Semuanya membawa rudal AMRAAM, sementara F-16 kita masih membawa Sidewinder. Kalaupun nantinya AS berkenan memberikan kita AMRAAM, kemampuan blok 32+ jauh dibawah kemampuan blok 52+ Singapur dan Thailand yang F-16-nya di upgrade oleh Israel. Yang disebut dengan intercept adalah mengirimkan fighter dengan kemampuan tempur memadai. Intercept dengan fighter odong-odong terbang hanya bisa membanggakan jika fighter odong-odong tersebut adalah produksi dalam negeri, atau diperoleh dengan nilai kemandirian akuisisi tinggi. Karena fighter odong-odong buatan dalam negeri, satu saat bisa menjadi fighter state-of-the-art, tetapi fighter odong-odong impor, hanya akan menjadi odong-odong tua.

Patroli pencitraan seperti itu selain beresiko mempermalukan Indonesia, juga memberikan false sense of security, seolah-olah udara nusantara terjaga, padahal aset yang ada tidak memadai.

13425099311417627781

Tempur udara moderen berbeda sama sekali dengan tempur udara zaman Top Gun.

Tempur udara moderen (modern air combat) akan diawali oleh tempur udara berbantuan diluar jarak pandang (TUB-DJP) alias Supported BVR Combat.

TUB-DJP adalah fase tempur udara dimana fighter penyerang dibantu oleh pesawat radar. Pesawat radar ini bisa AEW (airborne early warning), AEW&C (airborne early warning and control), atau yang paling canggih saat ini AWACS.

AEW biasanya pesawat kecil, helikopter, atau UAV. Terdapat pula penelitian AEW dengan balon udara, yang lebih sulit dikejar rudal pencari panas. AEW adalah radar terbang, dilengkapi kemampuan membantu fighter dalam bertempur. Bantuannya berupa pencarian pesawat lawan, identifikasi pesawat lawan (identification friend or foe – IFF), jamming radar lawan, menyadap komunikasi lawan, mengganggu peluru kendali lawan (counter measure), bahkan mengendalikan rudal DJP ke pesawat musuh yang diluar jangkauan radar fighter.

Jika platform pesawat AEW cukup besar, bisa dijadikan AEW&C. Pada platform ini terdapat petugas pengendali yang menuntun setiap pilot fighter. AEW&C dapat melihat lebih dulu bahwa ada rudal DJP yang ditujukan ke fighter. Petugas pengendali memberitahukan hal tersebut, dan memberi instruksi manuver hindar yang harus dilakukan oleh sang pilot. AEW&C juga mengendalikan jalannya pertempuran udara dan semua aset militer udara pada zona tempur tersebut. Bahkan bisa termasuk aset darat seperti radar darat (IGC), batere SAM, atau mobile SAM. AEW&C milik AS adalah state of the art AWACS yang selalu hadir pada setiap perang udara.

Tanpa AEW&C yang handal, suatu angkatan udara tidak memiliki kemampuan perang moderen, karena tidak memiliki kemampuan TUB-DJP. Kehancuran angkatan udara dapat dipastikan dengan Rudal Anti Pesawat DJP (BVRAAM) yang dikendalikan oleh AEW&C, sehingga pesawat lawan hancur sebelum melihat apapun di radar selain rudal yang datang dengan kecepatan Mach 4. Contoh RAP-DJP yang paling terkenal untuk F-16 adalah AMRAAM.

1342710009185236349

Setelah tempur TUB-DJP, maka kedua pihak posisinya semakin dekat, namun masih diluar jangkauan pandangan. Beberapa pesawat memiliki radar cukup canggih sehingga mampu melakukan perang DJP tanpa bantuan AEW.

Dalam hal ini pesawat melakukan Tempur Udara Mandiri – Diluar Jarak Pandang (TUM-DJP). Fighter menembakkan RAP-DJP AMRAAM tanpa butuh bantuan dari AEW. Tentu saja TUM-DJP terjadi dalam jarak yang lebih dekat dibandingkan dengan TUB-DJP yang didukung AEW, namun fighter musuh belum terlihat.

Setelah TUM-DJP, jika dari kedua belah pihak masih ada fighter yang lolos, maka fighter akan berhadap-hadapan dalam Tarung Udara Jarak Dekat (TUJD), alias Within Visual Range Combat, yang populer disebut “dogfight”. TUJD berlangsung dalam jarak sekitar 2 – 30 km, dimana kedua fighter akan berupaya mengunci lawannya dan menembakkan rudal jarak dekat. Rudal jarak dekat yang paling terbukti keampuhannya adalah Sidewinder (thanks to Israel Air Force), namun pada masa kini terdapat cukup banyak rudal jarak dekat yang diperkirakan lebih canggih daripada Sidewinder, dan dapat diset agar dapat dipasang pada F-16.

Pada TUJD ini, barulah skill pilot diuji. Demikian juga kemampuan manuver pesawat, untuk menghindari rudal musuh, menempatkan fighter di belakang musuh, mengunci, dan menembakkan rudal.

Jika salah satu fighter kehabisan rudal udara ke udara, biasanya fighter tersebut akan berusaha melarikan diri, karena tanpa rudal kemungkinan menang sangat kecil.

Pada kondisi yang sangat jarang, kedua fighter kehabisan rudal secara bersamaan, maka terjadi tarung udara jarak sangat dekat (< 2km) menggunakan senjata mesin Vulcan Gatling Gun. Tarung udara jarak dekat model Perang Dunia II ini sudah semakin jarang terjadi, mengingat rudal semakin efisien, dan fighter membawa rudal dalam jumlah yang semakin besar.

13425120162029389603

Aset militer Indonesia adalah yang paling rendah dibandingkan Australia, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia hanya lebih kuat dibandingkan Philipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste.

Negara Tier 4 memiliki AEW&C dengan kemampuan tempur DJP paripurna. Singapura berbasis 4 pesawat G550 AEW&C. Australia memiliki 6 Boeing 737 Wedgetail AEW&C. Thailand punya 2 berbasis SAAB 340 alias S 100B Argus. Semua memiliki rudal BVRAAM, khususnya AMRAAM.

Hanya Indonesia dan Malaysia yang belum memiliki AWACS. Namun Indonesia hanya memiliki 10 Su-27/30, sementara Malaysia dengan 36 Su-30MKM, 8 F/A-18D dan MiG-29N. F-16 odong-odong Indonesia tidak dihitung karena belum mampu melakukan tempur DJP (BVR). Apalagi F-5 tua.

Negara Tier 4 keatas, diatas kertas memiliki kemampuan menggulung TNI, mulai dari meraih superioritas udara, dengan cara menghabisi ke-16 Su-27/30 dan 24 F-16 blok 32+ menggunakan kemampuan tempur udara DJP (BVR). Setelah TNI AU di gulung, seluruh pertahanan rudal anti serangan udara (RASU) TNI dengan mudah dihancurkan menggunakan rudal jarak jauh. Batalion-batalion Artileri Pertahanan Udara TNI AD  hanya akan bisa menonton kanon dan AAMG-nya di hancurkan oleh rudal, tanpa pernah melihat pesawat musuh. Tidak ada fungsi artileri pertahanan udara dalam perang moderen. SAM jauh lebih bermakna. Namun SAM dan manpad SAM TNI AD berjumlah sangat terbatas. Kalaupun TNI AD dapat mengakuisisi 2 atau 3 SAM moderen seperti S-300, dampaknya tidak terlalu besar. Keunggulan rudal udara jarak jauh dalam kondisi superioritas udara, terhadap batere SAM sudah terbukti.

Segera setelah meraih superioritas udara, fighter-fighter musuh akan berburu kapal-kapal perang Armada Timur dan Barat. Tidak ada kapal perang TNI AL yang memiliki pertahanan anti serangan udara memadai menghadapi rudal jarak jauh anti kapal.

Tanpa AU dan AL, basis-basis pertahanan TNI AD akan menghadapi pengeboman tanpa memiliki kemampuan pertahanan. Tinggallah TNI menjadi inti pasukan gerilya, menunggu pendaratan musuh, jika musuh merencanakan invasi.

Kelemahan TNI ini terjadi karena TNI AU yang terlalu lemah, sedangkan perang moderen terpusat utamanya pada superioritas udara, baru kemudian superioritas laut, dan terakhir barulah kekuatan darat dapat di proyeksikan baik lintas laut atau lintas udara.

Apa yang diperlukan: Belajar dari Bung Karno dan para pendiri TNI dan AURI

1. Semangat

Sukarno percaya diri bahwa angkatan udara bisa dibangun, padahal di masa itu SDM sangat sulit, kepakaran tidak ada, uang tidak ada, industri tidak ada.

Saat ini kita kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi pemimpin teknologi dunia. Bahwa kita bangsa yang besar dengan 230 juta kepala yang cerdas. Rakyat kita yang paling miskin berhutang ke luar negeri mencicil ponsel. Rakyat kita yang miskin berhutang ke luar negeri dengan mencicil motor. Rakyat menengah berhutang ke luar negeri dengan mencicil mobil. Rakyat yang kaya berhutang ke luar negeri mencicil mobil mewah CBU. Semua penghasilan rakyat kita disetorkan untuk menjadi kemakmuran bagi bangsa asing.

Sementara semangat kita untuk kemandirian industri dan kemandirian teknologi tinggi seperti hilang lenyap.

Kita perlu semangat untuk menegakkan supremasi udara TNI AU, dengan akuisisi alutsista mandiri. Kita harus sadar bahwa sekarang tahun 2012, bukan tahun 1952. RRC bicara bagaimana pergi ke Mars. Korea bicara bagaimana mendominasi pasar ponsel dunia. Kita masih harus belanja pesawat baling-baling ke Brazil. Sedangkan doraemon tidak perlu ke Brazil untuk baling-baling-nya.

2. Kejujuran

Sukarno jujur, bahwa Republik tidak memiliki uang yang cukup, dan AURI tidak memiliki pesawat yang memadai.

Disini kita perlu mencontoh kejujuran tersebut, bahwa anggaran TNI yang 1,5% itu tidak memadai untuk mencapai MEF sampai kapanpun. Yang ada hanyalah daftar belanjaan dari trimatra, untuk kebanggaan dan pencitraan semu. Kita perlu jujur bahwa TNI AU membutuhkan minimal 4 skadron fighter besar hanya untuk bisa memberi kesempatan bagi TNI AL dan AD bertempur secara moderen, belum untuk mencapai MEF.

Minimum untuk mencapai MEF dalam Tier 4, dengan kondisi hankam mandiri (tanpa sekutu yang kapabel), dibutuhkan 2,5% dari GDP, dan sedikitnya 8 skadron pesawat tempur besar (F-15, Su-27/30, dsb). Dan kebutuhan itu bisa meningkat seiring peningkatan anggaran militer negara-negara tetangga dan negara-negara yang memiliki kemampuan mem-proyeksikan militernya ke nusantara.

Kita harus jujur bahwa pesawat tempur kecil seperti F-16 tidak efisien untuk mencapai superioritas udara di nusantara, karena dibutuhkan dalam jumlah terlalu besar. Setidaknya 3 kali lipat daripada kebutuhan pesawat tempur besar diperlukan untuk menjamin superioritas udara nusantara, agar TNI, baik AU, AD, maupun AL dapat melakukan perang moderen. Bahwa kepemilikan terlalu banyak jenis pesawat menurunkan kemampuan kita melakukan pememeliharaan.

3. Memanfaatkan potensi rakyat

Sukarno mau datang ke Aceh, tanpa malu meminta dukungan material rakyat Aceh.

Pemerintah tidak perlu malu untuk meminta dukungan rakyat, partisipasi potensi industri nasional, potensi intelektual nasional di kampus-kampus, dan potensi pembiayaan swasta nasional. Buat RFC, RFI, RFP, minta pendapat rakyat, bangun manajemen untuk mengkoordinasikan seluruh kekuatan itu.

Kita harus memikirkan apa yang kita punya, dan mengembangkan apa yang kita punya itu. Kalau kita punya industri kayu jepara, itu potensi rakyat kita. Kalau kita punya industri di Bekasi, itu potensi rakyat kita. Kalau kita punya PT Dirgantara dengan N-219, itu potensi rakyat kita. Kita punya banyak pengusaha bermodal besar, itu juga potensi rakyat kita.

AURI dibangun bukan dengan uang, bukan dengan tenaga ahli, bukan dengan industri, tetapi dengan keberanian, dan semangat juang. Sekarang semuanya kita miliki, kecuali keberanian dan semangat juang.

13425223071824344925

F-16 dengan metode akuisisi berupa pembelian, tidak pernah bermanfaat bagi kemampuan tempur TNI AU. Dengan jarak tempuh terbatas dan kemampuan angkut senjata terbatas, fighter kecil seperti F-16 sangat tidak ideal untuk meraih superioritas udara di Nusantara.

Besarnya kemungkinan embargo menjadikan alutsista AS sangat tidak sesuai untuk di beli, kecuali dengan tingkat kemandirian yang memadai.

Walaupun dapat diperoleh dengan kemandirian, F-16 sendiri tidak sesuai untuk Indonesia, dengan alasan:

  1. Jika diproyeksikan sebagai platform utama fighter kecil seperti F-16 dibutuhkan dalam jumlah terlalu banyak, dengan kemampuan jangkauan terbatas dan kemampuan angkat rendah, sehingga harus ada banyak pangkalan udara, yang masing-masing membutuhkan pengawalan besar. Pada saat F-16 kembali ke lanud karena daya angkut senjata rendah, dibutuhkan F-16 lain untuk mengudara menjaga lanud dari serangan. Akibatnya untuk dampak yang sama dengan fighter besar, dibutuhkan 3 kali lipat fighter kecil.
  2. F-16 blok 32 tidak mampu menghadapi fighter manapun dari alutsista asing. Kalaupun dapat dibeli blok 52 yang mahal, tetap kemampuan tersebut tidak ada, mengingat blok 52+ Singapura dan Thailand di upgrade oleh Israel, pakar utama dari teknologi F-16. Untuk itu lebih baik dipilih fighter kecil yang lebih murah, yang sama-sama tidak efektif, tetapi yang mendukung untuk kemandirian alutsista dengan produksi di dalam negeri. Dengan demikian, biaya mengoperasikan skadron fighter dengan kemampuan tempur terbatas dapat tetap di justifikasi.
  3. AS selalu menjual alutsista berkualitas lebih rendah kepada negara non-blok (mis: Indonesia, Malaysia), dibanding dengan yang dijual kepada sekutunya (mis: Australia, Thailand, Singapura). Sebagai contoh, F-16 block 52+ hanya diberikan kepada Singapura (Indonesia semula mau beli block 52, diminta beli bekas, upgrade ke block 32+), F/A-18F hanya diberikan kepada Australia. Hanya Singapura dan Australia yang memperoleh AIM-120 C7, sedang lainnya maksimal C5 atau lebih rendah. Hanya Australia yang memperoleh ASRAAM. Sidewinder AIM-9X baru diberikan setelah ada Phyton-5 untuk keunggulan Singapura dan Thailand. Demikian pula untuk rudal-rudal lain, Indonesia hanya diizinkan membeli rudal AS yang tidak mengganggu supremasi militer sekutu AS.

Fighter buatan Indonesia sekalipun awalnya mungkin seadanya, tetapi dapat kita kembangkan secara mandiri. Ada banyak platform fighter yang bisa dibeli untuk kita kuasai, khususnya riset yang gagal, atau konsep yang ditolak oleh negara besar.

Janganlah kita mengulang terus kesalahan yang sama. Tahun 2012, seharusnya kita membicarakan soal satelit mata-mata dan payung rudal terintegrasi, tetapi terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Namun jangan juga kita terlena dan melakukan pengadaan alutsista yang diluar prioritas, tidak perlu dengan tingkat kemandirian rendah, dan manfaat yang tidak nyata, seperti 16 EMB-314.

Atau pengadaan yang tidak sesuai dan memberi ketidak pastian seperti 50 KF-X pada 2020.

Atau pengadaan 24 fighter kecil F-16 yang tidak meningkatkan kemampuan tempur TNI AU.

Padahal ada prioritas penting yang harus dikejar oleh TNI AU, yang sangat vital demi memberikan AL dan AD kesempatan untuk berperang. Hanya kemampuan tempur moderen pada TNI AU yang memungkinkan hal itu. Menghindarkan TNI dari terlikuidasi dan terpaksa melakukan perang gerilya pada abad yang sudah lanjut ini.

Prioritas TNI AU adalah memiliki kemampuan tempur moderen secepatnya, guna menjaga udara nusantara. Yang juga bermakna mengejar kemandirian akuisisi alutsista secara agresif dan progresif.

Kemampuan tersebut hanya bisa diperoleh dengan memprioritaskan:

  • Pengadaan satu jenis (bisa beda varian) fighter besar minimal 4 skadron, menuju ke-8 skadron
  • Pengadaan sistem AEW terpadu dengan keunggulan
  • Pengadaan sistem senjata rudal canggih dan teruji
  • Kesiapan menghadapi setiap skenario proyeksi militer asing ke wilayah Nusantara, dengan kemampuan melakukan perang moderen

Bagaimana jika kita bisa mengadakan F-16 blok 52+, dilengkapi rudal AMRAAM, dan C-295 AEW&C kita bisa datang tahun 2015 ? Apa masalahnya ?

  • Kepemilikan 2 platform fighter berbeda F-16 dan Su-27/30 akan mengakibatkan masalah dalam kemampuan tempur TNI AU. Selain soal pemeliharaan, linud, dsb, kita harus memelihara 2 platform BVRAAM: AMRAAM dan R-77, juga 2 platform untuk semua tipe rudal udara lain. Dalam hal ini riset untuk kemandirian rudal, elektronik, counter measure, dsb akan terlalu mahal dan sulit dilakukan karena konsentrasi terpecah pada 2 platform berbeda.
  • AEW&C pun menjadi tidak optimal, karena AEW&C harus dikonsentrasikan untuk optimalisasi salah satu platform. Sebagai contoh apakah platform AEW&C bisa mengirimkan sinyal lokasi BVR target ke AMRAAM dan R-77 sekaligus ? Salah satu harus dikorbankan: F-16 atau Su-27/30.
  • Menggunakan platform asing sepenuhnya untuk AEW, tanpa alih teknologi dan optimasi, sama dengan bunuh diri. Katakanlah kita memperoleh IAI/Elta AESA Gen 4 (pastinya bukan teknologi terkini Israel) dengan dual interface platform BVR AS dan Rusia (yang hampir mustahil). Negara Tier 4 keatas akan sangat mudah memperoleh informasi kelemahan sistem tersebut. Semua negara Tier 4 melakukan upgrade persenjataan dan elektronik di Israel, dan entah kenapa, saya yakin mereka jauh lebih dekat dengan Israel daripada Indonesia. Akibatnya, dalam situasi konflik, platform AEW&C Indonesia, yang merupakan kunci perang moderen, akan dengan mudah di eliminasi. Dengan demikian kepemilikan AEW&C untuk F-16 (baca: alutsista negara barat), akan menjadi false-sense-of-security. Memberi perasaan nyaman seolah-olah udara nusantara dikuasai, padahal begitu terjadi konflik, seluruh aset udara tidak dapat melakukan perang moderen.
  • F-16 blok 52+ milik negara Tier 2 semua di upgrade di Israel, yang menjadi berbeda dengan F-16 blok 52+ produk AS, sekalipun namanya sama. Apakah anda berfikir AS mau memberikan persenjataan yang dapat memberi resiko bagi keunggulan udara Australia,  Singapura, dan Thailand, yang menjalin perjanjian pertahanan dengan AS ? Belum lagi penggunaan rudal Phyton yang jaul lebih unggul dibandingkan Sidewinder. Apakah kita juga mau membeli Python-4 dari Israel ? Kalau demikian sebaiknya buka dulu hubungan diplomatik.
  • Pada saat kelengkapan perang moderen F-16 tersebut siap, negara-negara Tier 4 keatas sudah berganti platform superioritas udaranya, dari F-16, F-15, dan F-18 menjadi F-35. Tidak ada harapan F-16 blok apapun berhadapan dengan F-35. Dan jangan harap AEW&C Indonesia bisa tetap mengudara.
  • Uang sebanyak itu lebih baik di prioritaskan untuk membangun armada fighter besar moderen dengan kemampuan BVR dan teknologi yang bisa kita kembangkan sendiri. Tulang punggung BVR, AEW dan BVRAAM bukan produk yang bisa dibeli dari negara lain, melainkan suatu teknologi yang harus dikuasai dan dikembangkan secara mandiri. Tidak berarti Pesawat AEW-nya harus kita produksi, atau propulsi BVRAAMnya yang harus di produksi sendiri, tetapi komponen-komponen vital yang menentukan kepemilikan kemampuan tempur udara untuk meraih supremasi udara nusantara.

Prosedur asal beli perlu dicegah. AEW&C, misalnya sebelum dibeli harus dipertimbangkan dengan baik spesifikasinya, agar fungsinya optimal. Adalah kekonyolan jika membeli AEW&C sebelum primary fighter dipesan, dan platform BVRAAM ditetapkan.

13425277621909791760

Kata kunci dari akuisisi alutsista yang berdampak positif adalah kemandirian akuisisi. Kemandirian disini artinya, setidaknya:

  • Produk dapat dirakit, dikembangkan disainnya, dan dilakukan seluruh pemeliharaan dan upgrade rutin di dalam negeri.
  • Persenjataan dapat dirakit, dikembangkan disainnya, dan di upgrade di dalam negeri.
  • Seluruh unsur elektronika dapat dikembangkan disainnya, dan di upgrade di dalam negeri, termasuk hardware dan software

Pilihan Pertama:

  • Fighter besar: F-15 Strike Eagle, dengan alih teknologi
  • Fighter kecil: produksi Indonesia (alih teknologi pesawat lama seperti F-5)
  • Rudal produk AS, Inggris, Prancis, Brazil, dan Israel, di transfer teknologi ke Indonesia

Kelebihan:

  • Teknologi lebih canggih
  • Pesawat dan rudal battle proven

Kelemahan:

  • Harga lebih mahal
  • Transfer teknologi lebih terbatas
  • Harus dilakukan riset besar-besaran untuk meng-counter kelebihan alutsista negara tetangga, yang lebih dekat dengan AS dan didukung oleh Israel.

Pilihan Kedua:

  • Fighter besar: Kombinasi Su-27/30/34/35 atau Su PAK FA, dengan alih teknologi
  • Fighter kecil: produksi Indonesia (alih teknologi pesawat kecil Rusia)
  • Rudal produk Rusia, India dan China, di transfer teknologi ke Indonesia

Kelebihan:

  • Harga lebih murah
  • Transfer teknologi lebih

Kekurangan:

  • Teknologi belum battle proven
  • Harus dilakukan riset besar-besaran untuk meningkatkan daya tempur alutsista

13426688711729164327

Pilihan Ketiga:

  • Tetap seperti sekarang, bagaimanapun ok. Pembelian bebas untuk pencitraan. Bisa menggunakan F-16.
  • Dilakukan perjanjian kerjasama pertahanan dengan AS, dengan kewajiban AS untuk melindungi Indonesia jika mendapat serangan dari negara manapun, selama 50, 75, atau 100 tahun.
  • Disusun undang-undang melarang pelanggaran HAM, sesuai dengan standar AS, agar menghindari terjadinya embargo militer di masa depan.
  • Banyak berdoa agar AS tidak bangkrut dan menarik seluruh Armada Pasifik.

Pilihan ketiga ini benar-benar merupakan opsi yang harus dipertimbangkan bila para pemimpin dan politisi kita tidak memiliki kebulatan tekad untuk meraih kemandirian alutsista.
Politik luar negeri bebas aktif itu memiliki konsekwensi besar pada Doktrin Pertahanan Indonesia. Hal ini perlu dipikirkan baik-baik. Untuk menjalankan hal tersebut dibutuhkan kemandirian alutsista minimal untuk mencapai MEF.

MEF pun harus disusun sebagai satu postur militer dimana TNI dapat melakukan perang moderen. Bukan disusun berdasarkan keterbatasan anggaran. Artinya, TNI berkewajiban menjelaskan bahwa jika anggaran tidak tercukupi, MEF tidak akan pernah tercapai. Dengan demikian tanggung-jawab atas ketidak mampuan TNI melakukan perang moderen (jika anggaran tidak memadai) akan berada pada para pemimpin sipil yang lemah, korup, dan tidak punya semangat juang untuk kemandirian alutsista.

Sebagai konsekwensi dari usulan peningkatan anggaran alutsista, TNI juga perlu berkewajiban menjamin agar sebagian terbesar dari anggaran tersebut kembali kepada rakyat, dalam bentuk pembangunan industri swasta ber teknologi tinggi, sebagai pemasok bagi industri pertahanan dan keamanan nasional.

Jika perlu, dengan anggaran tersebut, negara melalui TNI membangun kota industri pertahanan baru.

Dalam pelaksanaanya, dibutuhkan manajemen yang baik, bukan manajemen seadanya.

  1. Manajemen terpusat untuk akuisisi alutsista TNI, dalam bentuk inisiasi Proyek Akuisisi Pertahanan, pengawasan Proyek, dan Evaluasi Proyek untuk hasil yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, dan kewajiban sosialisasi kepada masyarakat, agar jangan sampai masyarakat kesulitan memperoleh sumber informasi yang jelas mengenai setiap proyek akuisisi pertahanan.
  2. Manajemen riset pertahanan terpusat, yang mengarahkan dan mendorong keterlibatan potensi bangsa secara optimal dalam pengembangan kemandirian alutsista melalui penelitian. Juga pemanfaatan kapasitas riset perguruan tinggi untuk kepentingan riset alutsista.
  3. Koordinasi industri nasional, dan dunia pendidikan, untuk mengembangkan industri pertahanan tertentu, baik dengan memberdayakan industri yang telah ada, maupun dengan membentuk industri baru untuk terciptanya persaingan usaha, atau memfasilitasi / memaksakan pembentukan industri pendukung yang dibutuhkan oleh industri pertahanan.
  4. Manajemen lobby anggaran, untuk memberikan sosialisasi kepada pihak-pihak terkait anggaran, maupun kepada masyarakat, bahwa anggaran pada masa tertentu telah digunakan untuk kepentingan pertahanan nasional secara tepat guna. Menjelaskan kepada publik bahwa dengan anggaran yang diperoleh, sejauh apa peningkatan kemampuan TNI, apakah dapat mencapai MEF atau tidak (secara jujur, bukan pencitraan).
  5. Manajemen intelijen teknologi tinggi untuk OPFOR (opposing forces), yaitu mempelajari kemampuan teknologi OPFOR, dan mencara jalan agar TNI memiliki kemampuan mengatasinya dengan baik. Termasuk membentuk skadron OPFOR dengan persenjataan, teknik tempur serupa dengan yang dimiliki oleh negara lain dengan kemampuan proyeksi kekuatan militer ke Indonesia.

Hal yang lebih utama dari semuanya, anggaran pemeliharaan alutsista harus diperhitungkan saat akuisisi, dan harus memadai. Percuma membeli alutsista jika pemeliharaannya mengancam nyawa para penerbang, putra terbaik Indonesia. Keselamatan kerja harus menjadi perhatian utama. TNI AU harus dapat beroperasi tanpa terjadi kecelakaan. Bila perlu alutsista yang tidak dapat dipelihara seluruhnya di-grounded. Jangan sampai ada kecelakaan dengan alasan pesawat sudah tua, atau kurang pemeliharaan, atau kurang program pelatihan pilot, atau kurang kelengkapan lanud. Di masa depan setelah program akuisisi, maka program pemeliharaan (dan pengembangan) alutsista harus menempati prioritas tertinggi.

Akhir kata, tulisan ini mohon jangan dibaca sebagai menyudutkan TNI atau TNI AU, melainkan justru bentuk dukungan. Tulisan ini semata-mata menyalahkan pemerintah dan DPR yang tidak tegas, tidak memiliki kebijakan, dan tidak membangun manajemen akuisisi alutsista yang baik dan komprehensif.

  • 10 F-16 A/B blok 15 korban embargo milik Indonesia, tidak memiliki kemampuan tempur regional di nusantara. 24 F-16 blok 32+ atau upgrade lebih tinggi juga tidak memiliki kemampuan tempur regional di nusantara dibanding dengan aset tempur negara lain.
  • Untuk memanfaatkan platform F-16, dibutuhkan minimal 160 F-16 blok 52+, dan kerjasama moderenisasi F-16 dengan Israel, serta jaminan suplai dari AS. Termasuk mengganti platform Su-27/30 dengan platform fighter besar AS (F-15SE atau F-18 atau F-35), agar tercipta efisiensi akuisisi persenjataan.
  • Prioritas TNI AU adalah kemampuan tempur moderen dan penguasaan udara nusantara, yang bisa dicapai bukan dengan pembelian F-16, melainkan dengan pengadaan fighter besar dengan kemandirian alutsista minimal.
  • Kemandirian alutsista minimal bemakna, teknologi alutsista dapat dipelihara, di-upgrade, dan di-redisain oleh industri lokal, demikian pula komponen elektronik dan persenjataan-nya. Tidak berarti harus di produksi 100% di dalam negeri, namun berarti dapat dicari solusinya jika suplai alutsista dari luar negeri terputus (baik oleh embargo, blokade, krisis ekonomi, atau perang).
  • MEF tidak boleh menjadi sekedar daftar belanjaan TNI, tetapi harus memikirkan unsur kemampuan tempur moderen yang sesungguhnya, yang saat ini tidak dimiliki oleh TNI, dan berfokus pada kemandirian akuisisi alutsista. Jika tidak, hanya membebani perekonomian nasional.
  • Anggaran minimum untuk mencapai MEF pada tier 3 adalah 2% GDP. Prioritas penggunaan dana tersebut adalah alutsista untuk superioritas udara (fighter besar, AEW, pesawat surveilance, radar darat EW / IGC, SAM moderen jarak jauh berbasis darat dan laut). Jika tidak, keunggulan jumlah dan kualitas TNI AD dan AL tidak memiliki arti.

Penulis sungguh rela jika sejumlah besar uang rakyat, termasuk potongan pajak yang tiap bulan dipotong dari gaji penulis itu, dipakai untuk membiayai akuisisi dan pemeliharaan alutsista. Biarlah hanya pada generasi penulis saja udara nusantara tidak terjaga. Kalau pada generasi sebelum ini AURI adalah angkatan udara terkuat di bumi belahan selatan, setidaknya dimasa anak cucu kita nanti, TNI AU memiliki Minimum Essential Forces, yang mampu melakukan perang moderen melawan segala ancaman.

Penulis cuma tidak rela kalau uang rakyat itu dipakai sekedar untuk membeli dan memelihara pesawat tempur untuk patroli pencitraan, tanpa kemampuan tempur yang bisa mengalahkan kapabilitas dari ancaman yang potensial.
Terima kasih.

 


Tinggalkan komentar