Kampus Militer

Elang Salah Asuhan

Archive page:
http://hankam.kompasiana.com/2012/07/09/kesalahan-akuisisi-alutsista-kf-x-elang-salah-asuhan-476373.html

Kesalahan Akuisisi Alutsista: KF-X, Elang Salah Asuhan

08 July 2012 | 20:09

Pilihan Indonesia bergabung dengan pembangunan KF-X adalah pilihan yang salah dan diambil tanpa pertimbangan matang.

Proyek KF-X

KF-X adalah proyek Korea Selatan membuat fighter baru pengganti F-4, F-5, dan F-16. KF-X yang diharapkan beroperasi tahun 2021 ini direncanakan memiliki keunggulan:

  • Spesifikasi lebih baik daripada F-16
  • Jet twin engine dengan thrust vectoring (arah jet bisa diatur sehingga gerak pesawat lebih lincah)
  • Semi-stealth, dengan rudal di dalam body pesawat

Jika terwujud, maka KF-X akan diberi nama F-33, yaitu pesawat dengan kemampuan diatas F-16, tetapi masih dibawah F-35. Mengikuti penamaan AS sebagai sumber teknologi utama Korea Selatan.

Korea Selatan merencanakan biaya pengembangan adalah USD 5 miliar, dengan 40% ditanggung oleh 2 negara lain. Disini rencananya Indonesia dan Turki ikut serta, masing-masing menanggung 20%, yaitu USD 1,8 miliar.

Rencananya, Indonesia akan mendapat imbalan berupa 50 pesawat KF-X, yang rencananya cukup canggih:

  • Disain KF-X sendiri masih di pertandingkan antara Boeing, Lockhead Martin, dan Eurofighter.
  • Mesin jet: EJ200 dari Eurojet atau F414 dari General Electric
  • Radar AESA (Active Electronically Scanned Array).
  • Targeting system, infrared search and track sensor.
  • Formula material serap radar.
  • Conformal weapons bay: rudal disimpan di dalam tubuh pesawat. Teknologi ini sudah dimiliki Korea Selatan dengan keterlibatan merakit komponen F-15 Silent Eagle.

Persenjataan pun rencananya akan di buat sendiri:

  • Rudal udara ke udara jarak pendek akan dikembangkan dari LIG Nex1 Shin-Gung, rudal SAM panggul
  • Rudal udara ke udara jarak menengah
  • Rudal udara ke permukaan
  • Rudal kendali presisi
  • Rudal kendali GPS (KGGB) 226kg, dikembangkan dari Boeing JDAM

Berita 1: Indonesia Korsel Kembangkan Jet KF-X

Berita 2: KSAU Harap Program IKFX Lancar

Bagaimana cara Korea Selatan membangun fighter begitu canggih ?

Begini. Korea Selatan sudah lama mendapat kontrak ikut membangun F-16, sehingga teknologinya sudah dikuasai. Bahkan Korea Selatan sudah membangun jet tempur latih, yang antara lain dibeli Indonesia.

DAPA (Defense Acquisition Program Administration) Korea mengadakan tender pembelian 60 fighter baru. Menggantikan skuadron F-4 Phantom lama. Beda dengan di Indonesia, dimana pembelian mendadak terjadi, dan biasanya dengan alasan hibah, atau perintah bapak, atau big-sale dari negara penjual, di Korea, DAPA menyusun 4 kriteria utama, dan 150 kriteria pendukung. Nama proyeknya F-X III.

Yang memenuhi adalah F-15 Silent Eagle dari Boeing, F-35 Lightning2 dari Lockheed Martin, dan Eurofighter Typhoon. Nah, disini dipercaya Korea Selatan akan menuntut agar si pemenang memberikan transfer teknologi stealth-nya untuk fighter KF-X.

Tentu masih banyak faktor lain yang perlu ditangani oleh Korea Selatan, seperti izin dari US dan Eropa untuk ekspor teknologi sensitif, dan bagaimana mengembangkan sendiri teknologi yang tidak bisa diperoleh.

Keraguan juga muncul mengenai berbagai teknologi canggih yang dijanjikan ikut serta. Radar AESA, misalnya, dikembangkan AS selama 10 tahun dengan biaya miliaran USD. Belum lagi sistem targeting, pengunci, penjejak infra merah, materi anti radar, sistem navigasi, dan lain sebagainya. Apalagi DAPA menjanjikan adanya riset persenjataan baru. Semua akan diwujudkan dalam waktu 7 tahun. Apakah rencana itu realistis ?

Keraguan Turki

Keterlibatan Turki dalam konsorsium KF-X masih menjadi tanda tanya besar. Turki menuntut kemitraan setara dengan Korea Selatan, yaitu 40% – 40% (dengan Indonesia 20%). Namun sejauh ini Korea Selatan menolak. Korea Selatan ingin tetap menjadi pemegang saham mayoritas, yaitu 60%.

Turki bisa saja membatalkan keterlibatan lalu membangun fighter dengan Swedia (tepatnya dengan Saab, produsen JAS 39 Gripen), atau bersama Brazil yang juga bernafsu membangun fighter sendiri, atau bergabung dengan konsorsium Eurofighter Typhoon (Italia, Jerman, Inggris, dan Spanyol), yang fighter-nya sudah jelas sekaliber F-35. Industri Turki cukup maju karena banyak terlibat dalam pembuatan komponen vital F-16, termasuk mesin jet-nya.

Beda dengan di Indonesia, dimana pejabat bisa langsung menentukan pilihan secara “ghoib”, di Turki, 40 staf AU diperintahkan mempelajari pilihan tersebut, dengan kesimpulan yang baru akan diambil tahun 2013.

Turki masih memiliki pilihan meningkatkan order F-35, dari rencana semula 100 pesawat, dan menunda rencana membangun fighter sendiri. Pabrik mesin jet F-35 pun rencananya dibangun di Turki.

F-35 yang risetnya molor, dan harga naik, jauh lebih tinggi daripada yang direncanakan pada awal riset

Perbedaan Fokus Pengembangan

Korea Selatan memiliki fokus pengembangan fighter yang jauh berbeda dibandingkan Indonesia. Perbedaan ini mengakibatkan fighter yang dihasilkan sangat kurang bermanfaat bagi Indonesia. Dalam kondisi dimana KF-X direncanakan menjadi tulang punggung pertahanan udara Indonesia (fighter terbanyak dengan jumlah 50 pesawat) maka yang terjadi adalah musibah.

Dari sisi geografis, Korea Selatan berbentuk satu daratan yang efisien dijaga oleh fighter kecil dengan radius tempur 750km (asumsi peningkatan 50% dari radius tempur F-16). Pada geografis Korea Selatan, fighter tidak perlu membawa terlalu banyak senjata karena bisa kembali ke pangkalannya untuk dipersenjatai kembali.

1341776301598185937

1341778690265336008

Basic Stealth

Korea Selatan berada dalam status perang dengan Korea Utara sejak genjatan senjata tahun 1953. Postur fighter yang ideal bagi Korea Selatan adalah yang memiliki kemampuan ofensif tinggi, karena itu kemampuan stealth sangat penting bagi Korea Selatan. Korea Utara sendiri tidak memiliki kemampuan tangkal stealth yang memadai karena keterbatasan dana dan teknologi, sehingga fighter stealth akan menjadi keunggulan besar bagi Korea Selatan.

Berbeda dengan Indonesia yang pada dasarnya negara damai, tanpa permusuhan militer. Postur TNI AU adalah postur defensif, untuk mengawal 17.000 kepulauan nusantara dengan alur laut Indonesia dan 200 mil ZEE. Kemampuan yang dibutuhkan oleh fighter kita adalah kemampuan terbang jauh, mengudara dalam waktu lama, dan kemampuan membawa banyak senjata sehingga dengan sedikit lanud militer, fighter bisa beroperasi di wilayah yang luas.

Lagi pula “stealth” dalam konteks KF-X sama sekali tidak bermakna bagi Indonesia, bukan hanya karena postur TNI bersifat defensif. Stealth adalah kemampaun fighter untuk tidak/sulit terlihat di radar yang ada hari ini. Dengan trend stealth, pada 2020, semua radar moderen sudah memiliki kemampuan anti stealth yang dapat melihat dan menembak pesawat tersebut. Lalu apa gunanya membayar lebih untuk kemampuan stealth yang tidak berguna ?

Jawabnya, bagi Korea Selatan tetap berguna, karena radar Korea Utara hari ini sama dengan radar tahun 1953, dan dipastikan tahun 2020 juga masih sama. KF-X akan mampu dengan mudah menyerbu Korea Utara tanpa terdeteksi radar. Berbeda dengan Indonesia, yang dikelilingi radar moderen Australia di Selatan, lalu AEW Singapura, Malaysia, dan Thailand di Utara, AWACS armada Pasifik berkeliaran di alur laut, armada RRC mengancam di Laut Cina Selatan, semua memiliki kemampuan anti-stealth. Untuk ke Timor Leste atau ke Papua Nugini tidak ada gunanya mengirim fighter, harga rudal-nya lebih mahal daripada sasaran yang akan ditembak.

Buat Indonesia mubazir melakukan riset fighter stealth, lebih mubazir lagi membeli 50 fighter dengan kemampuan stealth-basic. Yang dibutuhkan justru riset radar anti fighter stealth sekelas F-35 yang akan menjadi fighter utama Australia dan Singapura dalam waktu dekat.

Ancaman Embargo

Status Korea Selatan sebagai sekutu dekat AS memungkinkan negara tersebut mengandalkan teknologi persenjataan AS dan NATO. Berbeda dengan Indonesia dimana embargo sudah berulang kali mematikan kemampuan tempur alutsista. Hingga hari ini TNI tidak memiliki kemampuan tempur moderen. Independensi alutsista, setidaknya pemeliharaan dan persenjataan (peluru, rudal, update software, dsb) harus menjadi pertimbangan penting dalam setiap akuisisi alutsista. Disain KF-X yang tidak sesuai dengan kepentingan Indonesia dapat mengakibatkan 50 KF-X Indonesia tidak dapat beroperasi seperti F-16 dulu.

Korea Selatan sudah merencanakan pengadaan F-35 sebagai fighter superioritas udara utama. Dengan demikian posisi KF-X dalam AU Korea Selatan adalah sebagai secondary fighter. Berbeda dengan Indonesia, dimana 50 KF-X hanya ditemani Su-27/30, maka KF-X menjadi fighter utama dalam arsenal TNI AU. Perbedaan ini akan menyebabkan disain KF-X tidak sesuai untuk Indonesia.

Korea Selatan dapat bergantung pada rudal standar US seperti AMRAAM, HARM, Harpoon, dsb. Sementara Indonesia harus mencari kemampuan mandiri. Sekalipun proyek KF-X diumumkan akan membangun persenjataan sendiri, namun mengingat sempitnya masa pengembangan (7 tahun), dan kecilnya biaya, mengakibatkan pengembangan senjata sangat mungkin tidak dapat terwujud.

Dalam kasus embargo, Korea Selatan-pun tidak akan bisa mengirimkan alutsista ber-teknologi AS karena terikat dengan perjanjian. Jadi pengembangan bersama Korea Selatan tidak berbeda dengan pengembangan dengan AS.

Kalau keterlibatan dalam proyek KF-X dilanjutkan, sangat disarankan agar Indonesia menjadi sekutu AS, bersama dengan Korea Selatan. Dengan demikian kita bebas dari ancaman embargo.

1342064184473318599

Resiko besar, hasil tidak memadai

Masa pengembangan yang hanya 7 tahun dinilai tidak realistis oleh berbagai pihak. Demikian pula dengan rencana anggaran USD 5 miliar dinilai tidak masuk akal. Setidaknya dibutuhkan dana USD 15 miliar untuk mencapai produksi pada 2020.

Dengan kondisi tersebut, dapat diramalkan produksi akan mundur 10 – 20 tahun, dan biaya akan membengkan 2 – 3x lipat. Belum lagi adanya resiko kegagalan proyek.

Mundurnya proyek 10 – 20 tahun ataupun pembatalan tidak akan berdampak pada AU Korea Selatan yang akan memiliki F-35. Tapi untuk Indonesia, dirgantara kita tidak terjaga karena anggaran 50 fighter terkunci pada riset KF-X. Dan kalau anggaran-nya membengkak, bisa-bisa Indonesia cuma kebagian 10 fighter karena tidak mampu menambah modal. Ingat F-35 yang realisasinya mundur bertahun-tahun, dan biaya per pesawat meningkat drastis ? Itu AS (Lockheed Martin) yang berpengalaman membuat pesawat tempur canggih.

Keterlibatan Indonesia dalam proyek KF-X adalah perjudian sembrono, yang tidak mengutamakan kepastian atas kepentingan pertahanan nasional. Korea Selatan adalah negara maju yang berkembang dengan sangat cepat. Indonesia butuh kerjasama militer dan ekonomi dengan Korea Selatan. Hanya saja bukan kerjasama pengembangan fighter. Kita butuh elang yang berbeda. Korea Selatan butuh Silent Eagle, Indonesia butuh Garuda, elang besar.

Ringkasnya (tambahan executive summary buat yang males baca semua)

  1. KF-X adalah fighter superioritas udara kecil sesuai untuk Korea Selatan, kebutuhan Indonesia adalah fighter superioritas udara besar. Apapun hasilnya sudah pasti tidak sesuai dengan kebutuhan. Pembelian fighter superioritas udara kecil mengakibatkan Indonesia terjebak pada AU dengan 2 platform primary fighter yang diluar kesanggupan ekonomi kita.
  2. Fokus pengembangan Korea Selatan berbeda dibanding kebutuhan Indonesia.
  3. Saham 20% tidak memberikan alih teknologi kepada Indonesia, hanya membeli pesawat. Indonesia bukan partner setara. Ini sebabnya Turki mundur dan mempelajari ulang.
  4. KF-X memiliki 4 kemungkinan hasil:
  • Jika selesai tepat waktu 7 tahun sesuai anggaran USD 50 mio, berarti hanya rakitan dari teknologi AS. Tidak ada real research yang hasilnya bisa diperoleh Indonesia. Semua teknologi AS subject to peraturan re-export, sehingga alih teknologi harus seizin AS. Artinya kalaupun ada teknologi yang diberikan tidak ada kaitannya dengan KF-X, melainkan semata kebaikan AS. Sewaktu-waktu Indonesia di embargo AS, Korea Selatan tidak akan bisa mengirimkan material.
  • Jika riset dilakukan serius untuk berbagai teknologi, penyelesaian akan molor, dan anggaran membengkak. Karena tidak mampu menambah modal untuk kepemilikan saham 20%, terpaksa pesawat KF-X yang diterima hanya sedikit.
  • Jika gagal, misalnya AS menolak memberikan izin ekspor teknologi sensitif karena khawatir, uang hilang dalam jumlah besar.
  • Hasilnya jet tempur abal-abal, tanpa teknologi yang dijanjikan.

Sedangkan pada saat ini ada beberapa alternatif platform fighter besar, generasi baru, sudah jelas hasilnya, yang bisa di alih-teknologi-kan, dan bisa dimodifikasi dan dikembangkan sendiri (riset) sesuai kebutuhan Indonesia. Jadi pilihan KF-X adalah pilihan yang salah.

Lebih Baik Cerai daripada Aborsi

Melihat perbedaan-perbedaan fokus pengembangan diatas, kalaupun kemudian ke-50 KF-X tersebut datang, dapat dipastikan bukan fighter yang dibutuhkan oleh Indonesia. Dan kembali, pertahanan dirgantara tidak terjaga secara optimal. KF-X yang datang menjadi F-33 Elang Salah Asuhan, dikembangkan bukan untuk kondisi Nusantara.

Dengan kemampuan komitmen dana USD 1,8 miliar, ada banyak cara lain mengembangkan kemandirian alutsista tempur udara Indonesia. Banyak cara yang lebih kreatif, jitu, memberi kepastian, efisien, dan efektif. KF-X adalah cara yang salah.

Mumpung belum jauh melangkah, baru USD 18 juta yang keluar, sebaiknya Indonesia segera keluar dari konsorsium KF-X. Lebih baik cerai daripada aborsi.

Terima kasih.

 


Tinggalkan komentar